News

Check out market updates

Upacara Adat di Jogja

12 Upacara Adat di Jogja Tradisi yang Menyimpan Nilai Budaya Tinggi

homestaydijogja.net – Yogyakarta, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jogja, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan budaya dan tradisi. Berbagai upacara adat yang digelar di daerah ini tidak hanya menjadi daya tarik wisatawan, tetapi juga menyimpan nilai-nilai budaya yang tinggi. Artikel ini akan mengulas 12 upacara adat di Jogja, memberikan gambaran mendalam tentang setiap upacara, serta pentingnya dalam menjaga warisan budaya.

Upacara Adat di Jogja

1. Sekaten

Sekaten adalah salah satu upacara adat yang paling terkenal di Yogyakarta. Upacara ini diadakan setiap tahun untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sekaten dimulai dengan mengarak gamelan dari Keraton Yogyakarta ke Masjid Gede Kauman, diiringi oleh prosesi yang meriah. Gamelan tersebut kemudian dimainkan selama satu minggu penuh. Sekaten tidak hanya menjadi acara religius, tetapi juga menjadi festival rakyat yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Sejarah Sekaten

Tradisi Sekaten bermula pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Upacara ini pertama kali diadakan sebagai sarana dakwah Islam melalui kesenian gamelan yang diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat untuk mendengarkan ajaran agama. Hingga kini, Sekaten tetap dilestarikan dan menjadi bagian integral dari budaya Yogyakarta.

Rangkaian Acara Sekaten
  • Miyos Gangsa: Prosesi awal yang dilakukan dengan mengarak gamelan dari Keraton Yogyakarta ke Masjid Gede Kauman.
  • Gamelan Sekaten: Gamelan dimainkan selama satu minggu di halaman masjid, diiringi oleh pembacaan doa dan shalawat.
  • Grebeg Mulud: Puncak acara Sekaten yang ditandai dengan diaraknya gunungan hasil bumi dari Keraton ke Masjid Gede Kauman untuk diperebutkan oleh masyarakat.

2. Grebeg

Grebeg adalah upacara yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta pada tiga kesempatan besar: Grebeg Syawal, Grebeg Besar, dan Grebeg Mulud. Grebeg ini melambangkan pemberian sedekah dari Sultan kepada rakyatnya. Pada puncak acara, gunungan hasil bumi diarak dan diperebutkan oleh masyarakat sebagai simbol keberkahan.

Jenis-jenis Grebeg
  • Grebeg Syawal: Diadakan pada hari pertama bulan Syawal (Idul Fitri) sebagai ungkapan rasa syukur setelah menjalani ibadah puasa.
  • Grebeg Besar: Dilaksanakan pada hari raya Idul Adha, diiringi dengan penyembelihan hewan kurban.
  • Grebeg Mulud: Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan mengarak gunungan.
Proses Pembuatan Gunungan

Gunungan dibuat dari berbagai hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan, dan makanan tradisional. Gunungan ini disusun sedemikian rupa menyerupai bentuk kerucut dan dihias dengan ornamen-ornamen indah. Proses pembuatan gunungan melibatkan banyak orang dan dilakukan dengan penuh kebersamaan.

3. Labuhan

Labuhan adalah upacara yang dilakukan untuk menghormati penguasa laut selatan, Nyai Roro Kidul. Upacara ini diadakan di beberapa tempat seperti Parangkusumo, Parangtritis, dan Gunung Merapi. Dalam prosesi ini, berbagai sesaji dilemparkan ke laut atau sungai sebagai bentuk persembahan.

Makna Filosofis Labuhan

Labuhan melambangkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dengan memberikan persembahan kepada laut, masyarakat berharap mendapat perlindungan dan berkah dari Nyai Roro Kidul. Labuhan juga mencerminkan rasa syukur dan permohonan keselamatan kepada Sang Pencipta.

Rangkaian Upacara Labuhan
  • Pengambilan Sesaji: Sesaji diambil dari Keraton Yogyakarta dan dibawa ke tempat upacara.
  • Prosesi ke Pantai: Sesaji dibawa melalui prosesi yang melibatkan abdi dalem dan masyarakat.
  • Pelemparan Sesaji: Sesaji dilemparkan ke laut sebagai simbol penghormatan dan permohonan berkah.

4. Tingalan Jumenengan

Tingalan Jumenengan adalah upacara untuk memperingati hari penobatan Sultan Yogyakarta. Upacara ini sarat dengan prosesi adat dan tarian tradisional yang diiringi oleh gamelan. Tingalan Jumenengan juga menjadi momen penting bagi masyarakat untuk melihat langsung kebesaran budaya keraton.

Sejarah Tingalan Jumenengan

Tingalan Jumenengan pertama kali diadakan untuk memperingati penobatan Sultan Hamengkubuwono I. Upacara ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi salah satu tradisi penting dalam kalender kegiatan Keraton Yogyakarta.

Kegiatan dalam Tingalan Jumenengan
  • Pembacaan Babad: Sejarah dan silsilah Sultan dibacakan sebagai bentuk penghormatan dan pengingat asal-usul kerajaan.
  • Tarian Tradisional: Tarian sakral seperti Bedhaya dan Serimpi dipentaskan dengan iringan gamelan.
  • Doa Bersama: Doa dipanjatkan untuk memohon berkah dan keselamatan bagi Sultan dan rakyatnya.

5. Tumplak Wajik

Tumplak Wajik merupakan upacara yang dilaksanakan sebelum Grebeg Mulud. Upacara ini bertujuan untuk mempersiapkan gunungan yang akan diarak pada saat Grebeg Mulud. Wajik, sejenis kue tradisional dari ketan, disusun rapi membentuk gunungan yang akan dipersembahkan.

Proses Pembuatan Tumplak Wajik

Wajik dibuat dari beras ketan yang dimasak dengan gula merah hingga mengental. Adonan wajik kemudian dicetak dan disusun membentuk gunungan. Proses ini dilakukan dengan teliti dan penuh kebersamaan, melibatkan banyak orang.

Makna Tumplak Wajik

Tumplak Wajik melambangkan rasa syukur dan permohonan berkah kepada Tuhan. Upacara ini juga menjadi simbol persatuan dan gotong royong masyarakat dalam mempersiapkan gunungan untuk Grebeg Mulud.

6. Nguras Enceh

Nguras Enceh adalah upacara membersihkan kendi atau gentong yang ada di sekitar kompleks Makam Raja-Raja Imogiri. Upacara ini diadakan setiap bulan Sura (Muharram) dalam kalender Jawa. Tradisi ini dipercaya dapat membersihkan roh dan menjaga kesucian tempat.

Rangkaian Upacara Nguras Enceh
  • Pengambilan Air Suci: Air diambil dari sumber mata air yang dianggap suci.
  • Pembersihan Enceh: Enceh atau gentong dibersihkan dengan air suci sambil diiringi doa.
  • Penggantian Air: Air lama dalam enceh diganti dengan air suci yang baru.
Makna Nguras Enceh

Nguras Enceh melambangkan pembersihan diri dan jiwa. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga kesucian hati dan lingkungan sekitar. Upacara ini juga menjadi sarana untuk mengingat leluhur dan merawat makam mereka dengan baik.

7. Sadranan

Sadranan adalah tradisi nyadran atau ziarah ke makam leluhur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Upacara ini biasanya diadakan menjelang bulan Ramadhan. Dalam prosesi ini, masyarakat membersihkan makam leluhur dan membawa berbagai sesaji sebagai bentuk penghormatan.

Tradisi Nyadran

Nyadran berasal dari kata “sraddha” yang berarti keyakinan. Tradisi ini mencerminkan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya menghormati leluhur. Nyadran dilakukan dengan penuh khidmat dan kebersamaan, melibatkan seluruh anggota keluarga.

Kegiatan dalam Sadranan
  • Bersih-bersih Makam: Makam leluhur dibersihkan dari kotoran dan rumput liar.
  • Ziarah: Doa dipanjatkan di makam leluhur untuk memohon berkah dan keselamatan.
  • Pembagian Sesaji: Sesaji berupa makanan tradisional dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol rasa syukur.

8. Merti Dusun

Merti Dusun adalah upacara yang diadakan oleh masyarakat pedesaan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Upacara ini melibatkan berbagai kegiatan seperti kirab budaya, doa bersama, dan pesta rakyat.

Makna Merti Dusun

Merti Dusun melambangkan rasa syukur dan penghargaan terhadap alam. Upacara ini menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga desa dan memperkuat kebersamaan dalam menjaga lingkungan.

Rangkaian Upacara Merti Dusun
  • Kirab Budaya: Prosesi arak-arakan yang menampilkan berbagai kesenian tradisional.
  • Doa Bersama: Doa dipanjatkan untuk memohon keberkahan dan keselamatan.
  • Pesta Rakyat: Berbagai kegiatan hiburan dan kuliner diadakan untuk merayakan hasil panen.

9. Wiwitan

Wiwitan adalah upacara yang dilakukan sebelum masa panen dimulai. Upacara ini bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar panen yang akan datang diberikan kelancaran dan hasil yang melimpah. Prosesi Wiwitan melibatkan doa dan penyampaian sesaji di sawah.

Rangkaian Upacara Wiwitan
  • Persiapan Sesaji: Sesaji yang terdiri dari berbagai makanan tradisional, bunga, dan hasil bumi disiapkan oleh masyarakat.
  • Doa Bersama: Doa dipanjatkan oleh tetua adat atau pemuka agama untuk memohon berkah dan perlindungan.
  • Penyampaian Sesaji: Sesaji diletakkan di sawah sebagai simbol persembahan kepada Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan dalam kepercayaan Jawa.
Makna Wiwitan

Wiwitan melambangkan rasa syukur dan harapan kepada Tuhan agar panen yang akan datang diberkahi. Tradisi ini juga mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam, serta pengakuan terhadap pentingnya pertanian dalam kehidupan masyarakat.

10. Nyadran Kali

Nyadran Kali adalah upacara adat yang dilakukan di sepanjang aliran sungai. Upacara ini bertujuan untuk membersihkan sungai dari segala bentuk kotoran dan memohon keberkahan dari sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Nyadran Kali biasanya diadakan pada awal musim penghujan.

Rangkaian Upacara Nyadran Kali
  • Persiapan Alat: Alat-alat pembersih sungai seperti jaring, ember, dan sapu disiapkan oleh masyarakat.
  • Doa Bersama: Doa dipanjatkan untuk memohon perlindungan dan keberkahan dari sungai.
  • Pembersihan Sungai: Masyarakat bekerja sama membersihkan sungai dari sampah dan kotoran.
  • Pelepasan Sesaji: Sesaji dilemparkan ke sungai sebagai simbol persembahan dan permohonan berkah.
Makna Nyadran Kali

Nyadran Kali melambangkan kepedulian terhadap lingkungan dan pentingnya menjaga kebersihan sungai. Upacara ini juga mencerminkan rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan agar sungai tetap memberikan keberkahan dan kehidupan bagi masyarakat.

11. Ruwatan

Ruwatan adalah upacara untuk membersihkan diri dari segala bentuk kesialan atau malapetaka. Upacara ini melibatkan berbagai ritual seperti penyucian diri, pembacaan doa, dan penyampaian sesaji. Ruwatan biasanya diadakan untuk anak-anak yang dianggap memiliki sukerta atau kesialan.

Jenis-jenis Ruwatan
  • Ruwatan Sukerta: Dilakukan untuk anak-anak yang dianggap memiliki kesialan tertentu, seperti anak tunggal atau anak kembar.
  • Ruwatan Massal: Upacara ruwatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa keluarga.
  • Ruwatan Lintas Usia: Dilakukan tidak hanya untuk anak-anak tetapi juga untuk orang dewasa yang ingin membersihkan diri dari kesialan.
Rangkaian Upacara Ruwatan
  • Penyucian Diri: Mandi atau berendam di air suci untuk membersihkan diri secara spiritual.
  • Pembacaan Doa: Doa khusus dibacakan oleh pemuka agama atau tetua adat.
  • Penyampaian Sesaji: Sesaji berupa makanan dan bunga disampaikan sebagai simbol persembahan.
Makna Ruwatan

Ruwatan melambangkan upaya untuk membersihkan diri dari segala bentuk kesialan dan malapetaka. Upacara ini mencerminkan kepercayaan terhadap kekuatan spiritual dan pentingnya menjaga kesucian diri. Ruwatan juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan keluarga dan masyarakat.

12. Kirab Agung

Kirab Agung adalah prosesi besar yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta untuk memperingati berbagai peristiwa penting, seperti penobatan Sultan atau acara kenegaraan. Kirab Agung melibatkan ratusan peserta yang mengenakan pakaian adat dan membawa berbagai perlengkapan tradisional.

Rangkaian Upacara Kirab Agung
  • Persiapan Peserta: Peserta kirab, termasuk abdi dalem dan anggota keraton, mempersiapkan diri dengan pakaian adat dan perlengkapan.
  • Prosesi Kirab: Peserta kirab berjalan dalam barisan rapi dengan diiringi musik gamelan dan tarian tradisional.
  • Pemberian Hormat: Sultan memberikan penghormatan kepada peserta kirab dan masyarakat yang hadir.
Makna Kirab Agung

Kirab Agung melambangkan kebesaran dan kemegahan Keraton Yogyakarta. Upacara ini menjadi sarana untuk menunjukkan kekuatan budaya dan tradisi yang dimiliki oleh keraton. Kirab Agung juga mencerminkan rasa bangga dan penghormatan terhadap warisan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Kesimpulan

Keberagaman upacara adat di Yogyakarta mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang dimiliki oleh daerah ini. Setiap upacara tidak hanya memiliki nilai sejarah dan religius, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan dan menjaga warisan budaya. Dengan memahami dan melestarikan upacara-upacara ini, kita turut serta dalam menjaga kekayaan budaya Indonesia agar tetap hidup dan dikenal oleh generasi mendatang.

Dengan demikian, upacara adat di Jogja tidak hanya sekedar tradisi, tetapi juga sebuah identitas yang perlu dijaga dan dihormati. Melalui artikel ini, diharapkan masyarakat dapat lebih mengenal dan menghargai keberagaman budaya yang ada di Yogyakarta. Upacara-upacara ini menjadi bukti nyata betapa kayanya warisan budaya yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya Yogyakarta, dan pentingnya melestarikan tradisi ini agar tidak hilang ditelan zaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published.